Daniel Land and The Modern Painters, ya dengan nama band dan nama album seperti ini ditambah artwork kover album yang Glider-ish, sangat mudah menarik perhatian para benak eskapis yang tertarik pada tema-tema pretensius, termasuk saya, haha. Dari track pembuka "Within The Boundaries" yang berlirik hanya sekitar 3 baris, suara gitar hasil delay/echo/reverb beberapa pedal yang familiar seketika mengingatkan saya pada Slowdive. Track selanjutnya "Codeine" (judul yang 'ngga ke mana-mana' hehe), dibuka dengan intro gitar akustik yang jangly. Cukup melegakan, karena awalnya saya mengira lagu-lagu berikutnya akan terdengar tipikal. Pengaruh The Verve pada track ini sangat kental termasuk ke gaya vocalizing-nya Richard Ashcroft. Loncat ke track nomor empat "Glitterball", inilah track yang catchy dan cukup friendly untuk didengarkan berulang-ulang. Ritme gitar yang berulang tak terelakan memunculkan image Cocteau Twins.Hasil berlapis dari resonansi tiga gitar dan cara bernyanyi Daniel Land yang terdengar seperti perempuan (seperti yang dicontohkan dengan sempurna sebelumnya oleh Jeff Buckley, Delays, Mew dan Anthony And The Johnsons), juga sedikit sentuhan slide gitar ala alt-country rockers Son Volt/Japancakes membuat album band asal Manchester ini berada di bawah direktori ethereal, atau dreampop. Bukan sesuatu yang baru, tapi layak disimak.
0 Comments
Setelah membaca blog berisi cerita personal tentang pengalaman mistisnya yang ditulis dengan gaya bertutur yang natural, saya memutuskan untuk menawarkan posisi penyiar acara Popcircle pada Risa Saraswati di penghujung 2007. Bukan karena Popcircle adalah acara mistis, melainkan karena personality Risa yang menarik, tersirat dan membuatnya menjadi kandidat yang pas, ditambah dengan fakta bahwa saat itu dia juga adalah vokalis dari Homogenic. Pada perkembangannya acara radio ini kemudian mempertemukan Risa dengan Syauqy Lukman (partner siaran) dan Dimas Ario (produser acara). Siapa yang menyangka kalau tim ini menjadi titik awal dari munculnya proyek musik yang paling hangat dibicarakan saat ini : Sarasvati. Cerita berlanjut ketika radio tempat Popcircle mengudara, Rase FM Bandung, akan berulang tahun di tahun 2009. Saat itu tim Popcircle akan menampilkan sesuatu yang spesial secara live on-air. H-1 sebelum acara, Risa datang dengan serangkaian lirik yang ditulisnya, juga dengan melodi yang sudah terekam dalam benaknya tentang bagaimana lirik tersebut dinyanyikan. Konsep duet dari lagu yang ditulisnya membuat lagu ini jadi tambah menarik. Dimas Ario saat itu berbekal gitar berusaha mencari rhythm yang pas, sedangkan saya dan Risa mengotak ngatik lirik agar sesuai dengan cerita yang menjadi soul dari lagu itu, dan Syauqy Lukman didaulat untuk menjadi partner duet bersama Risa. Ternyata lagu yang ditampilkan secara akustik pada malam itu cukup disukai pendengar, sampai akhirnya direkam ulang di ruang produksi Rase FM, khusus untuk diputar lagi di Popcircle. Pada salah satu episode Popcircle, kami kemudian mengajak pendengar untuk memberikan judul bagi lagu tersebut. Usulan-usulan via SMS membanjiri. Mulai dari “Apocalyptic Love Song at The End of The World” sampai “Oh I Never Know How To Show”. Yang terakhir menjadi pemenangnya, dan kini judul lagu itu diperpendek menjadi “Oh I Never Know”. Dari situ Risa semakin rajin merekam melodi dan notasi yang ada di benaknya. Materi-materi bermuatan pengalaman pribadinya inilah yang akhirnya diseriusi untuk digarap menjadi materi proyek solo-nya. Teman-teman Risa yang mendengar demo “Oh I Never Know” melihat talenta menulis lagu yang dimiliki Risa. Mereka mendukung Risa untuk bergerak merealisasikan proyek itu, Syauqy Lukman akhirnya berperan sebagai manager dan Dimas Ario mengkontribusikan permainan bass-nya. Proyek ini lalu dinamakan Sarasvati, diambil dari nama belakang Risa : Saraswati, yang dalam bahasa sangsekerta berarti dewi pengetahuan, musik, dan seni. Tidak ada nama lain yang lebih pas dan cocok rasanya daripada nama ini. Kini Sarasvati sudah rampung menyelesaikan proses rekamannya. Tujuh buah lagu dengan tempo medium – slow, bernuansa gelap nan mistis, khas Sarasvati. Mereka yang mengenal Risa secara pribadi akan melihat karakter kuat yang tidak dibuat-buat. Mini album berjudul “Story of Peter” dibuka dengan lagu berjudul sama, “Story of Peter”, langsung menjadi preview dari nuansa lagu-lagu berikutnya. Dengan intro suara suasana malam, lengkap dengan bunyi jangkrik dan burung hantu, siapa yang tidak tercekam? Dilanjutkan dengan suasana theatrical bagaikan soundtrack dari sebuah film ala Harry Potter disutradarai Tim Burton tapi se-catchy lagu pop pada umumnya. Nuansa theatrical ini juga terasa pada lagu Sarasvati lainnya “Fighting Club”. “Cut and Paste” bagaikan ekspresi aural dari Risa tentang masa saat ia melangkah keluar dari Homogenic. Nuansa musik Homogenic (saat ini) yang kental terasa di setiap bagian verse dari lagu ini, nada ceria berbalut bebunyian elektronik samar-samar optimis, tiba-tiba distorsi gitar datang dan nuansa berganti melankolis dengan iringan piano pada bagian chorus-nya. Tidak bisa dipungkiri Risa adalah salah satu faktor melankolis pemukau kuping dari Homogenic (dulu). Tidak bisa dipungkiri juga kecerdasannya untuk berhasil merekayasa emosi itu menjadi karya yang indah dan ekspresif. Dua buah lagu covers yang ada pada mini album ini mewakili kekaguman Risa pada karya orang lain. “Question” milik Space Astronauts, band trip-hop asal Bandung diaransemen ulang oleh Tengku Irfansyah sang empunya lagu, khusus untuk Sarasvati. Sedangkan “Perjalanan” milik Franky and Jane, duo folk legendaris Indonesia diaransemen ulang dengan bantuan Unyil dari The Milo. Dua-duanya mengukuhkan preferensi dan referensi Sarasvati. “Bilur” adalah lagu yang cocok disandingkan dengan “Gloomy Sunday” yang populer itu. Semua elemen pada lagu ini menjadi integrasi sempurna melantunkan kesedihan kejadian nyata. Cerita tentang kematian seorang sinden asal tanah sunda ini menjadi serangkaian lirik monolog imajiner yang akan membuat theatre of mind kita memberikan sinyal pada bulu kuduk untuk berdiri. Ditambah dengan suara kecapi, suling, dan sinden menyanyikan kawih sunda. Musikalitas Sarasvati yang berani pada lagu ini, bukan semata-mata mencoba bereksperimen semata, tapi menunjukan kualitas alami yang dipunyainya selama ini, karena Risa berasal dari keluarga yang juga berkecimpung di dunia seni sunda. “Oh I Never Know” menjadi lagu yang paling manis di mini album ini. Duet melankolis antara Risa dan Muhammad Tulus menuturkan dialog dua orang yang tidak berhasil mewujudkan perasaannya. Dengan durasi dan nuansa yang sangat radio-friendly, lagu ini menjadi instant favorite bagi semua orang sejak awal kemunculan demo-nya di akhir 2009. Kini balutan orkestrasi semakin mempercantik lagu pertama yang ditulis Risa ini. Sarasvati mungkin bisa dikatakan sebagai respon Bandung atas kehadiran solois perempuan di scene independen Indonesia beberapa waktu terakhir seperti Tika (Jakarta) atau Frau (Yogyakarta). Namun apakah Sarasvati hanya mengikuti trend dan berjalan menapak tilas jejak mereka? Rasanya tidak. Sarasvati adalah talenta Risa Saraswati yang akhirnya mencapai permukaan, melepaskan bayang-bayang citra terdahulunya dan kembali ke jati diri yang tidak berpura-pura. #Note2Write @Samsung_ID Menyebutnya sebagai ambient music rasanya cukup menggambarkan warna keseluruhan album ini. Alunan tekstur gitar yang terdistorsi, looping samples, suara drums yang tenggelam jauh di dasar (terkadang tidak ada sama sekali), dan suara-suara lainnya, saling bergantian mengisi ruang dan waktu dari setiap track di album ini. Seperti yang terimplikasi oleh kover album Navigare dari Simon Scott, ada nuansa gelap dengan beberapa sorot cahaya yang muncul sesekali menyilaukan kuping. Inilah impresi keseluruhan dari rilisan solo debut mantan drummer Slowdive ini. Masih ingat track "Eric's Song" di album Just For A Day? Bayangkan track itu dengan penambahan suara desis dari pita rekaman, melodi panjang hasil fabrikasi efek gitar, sampled vocals (ada juga, nyanyian "beneran" di track "The ACC"), suara suasana pedestrian, suara mesin pabrik (?), dll. Kurang lebih seperti itulah lagu-lagunya. Bukan sesuatu yang baru memang. Bahkan lagu "Flood In" akan langsung mengingatkan kita pada sebuah lagu milik Jesu. Untuk para penggemar Seefeel, loveliescrushing, ataupun Robin Guthrie. Santamonica is taking Indonesian pop music to the level that has never been reached before. Their debut album, Curiouser And Curiouser, is a collection of songs that in fact keep you curious about what’s going to hit you next. From the initial “Curiouser And Curiouser” to the final track “Fail To Bloom”, Santamonica has somehow managed to keep it interesting. Filled with amusing twists & turns, underlining many curious sounds, these 10 songs are the proof of their persistance of perfecting the details and superb jazz-pop-sensibility. I think it’s their signature of songwriting, concerning its continuity. The production is quite ambitious I’d say. It’s nowhere near 189 (their EP - 2005). The duo have a strong interest in analog instruments and the record shows a lot. You’d play it for many times just so you could re-discover the layers and actually enjoy the same song in a different way. I imagined that Anindita & Joseph Saryuf were curious and curiouser about the alternate results of the songs along the process, that it’s very possible they’d have so many outtakes (yum!). “Wanderlust” the 1st single, is a playful one and a bit Stereolab-ish. “Better For Us Never” is one of my favorites, a standout track with great duet parts that drove the crowd all cheering when Santamonica played it last Saturday in Bandung. On “Plainsong” and “Paper Dolls” you’d feel that Paul Staveley O’Duffy influence, ones found on Swing Out Sister releases circa Kaleidoscope World. Another favorite track, “Ribbons And Tie” is an excellent danceable track and should be perfect for single#2 Anindita Saryuf’s whispery vocal is improving, and treated as well as other instruments. A lot of verses are done with two different vocalizing. Here and there, the guitar sounds bring out the ghost of Sugarstar (Joseph’s other great band whose most of the songs ,sadly, haven’t seen the light of day ) resembling guitar/noise bands of the 90s, especially My Bloody Valentine. The other thing that will get you curious is the lyrics. Try to catch em sometime soon maybe. The special edition of Curiouser And Curiouser compliments the fans with 1 bonus disc. Consisting the songs that won’t fit the feel of the album, but still trip you to another land . Most of them are from Santamonica’s earlier works including the dreamy “Anais Lullaby”, and some recall the touch of Danes (another Joseph’s former project). For visuals pleasure, the cd is enhanced with two videos (Wanderlust and Anais Lullaby) and packed with great artworks. All in all, it is a joyful & surreal mind-adventure. Am thinking spacey metropolis, city lights, colors and wonderland. Curious indeed. Santamonica is out and about. Go grab it now. This was written long time ago and posted on my old blog. Setelah tahun lalu Adele berhasil mempesona lewat albumnya, "19", yang sangat soulful dan cukup memiliki kadar 'edgy' dalam arti berani memasukan unsur lainnya seperti electronic music misalnya, tahun 2009 kuping saya kembali 'haus' akan album yang mempunyai satu nafas dengan "19". Sampai akhirnya saya mendengarkan "The Courtesy Fall" milik Dawn Kinnard asal Pennsylvania AS. Tentu saja tidak sama dengan Adele, Dawn Kinnard lebih menyentuh sisi southern musik pop/rock Amerika. Tapi jangan dulu membayangkan warna musik country karena bukan itu yang ada di album ini. Dominasi alunan gitar, beat yang cukup 'bermain' dari lagu ke lagu, samples suara-suara yang sedikit psychedelic, ditambah orkestrasi di sana sini, melengkapi vokal Dawn yang terkadang muncul aksen southern-nya. Oh ya ada kolaborasi juga dengan musisi Ed Harcourt dan Cerys Matthews (ex-Catatonia) di 2 track pada album ini.Untuk yang suka lagu yang berkomposisi grafik naik, simak track penutup "White Walls" yang berdurasi tujuh setengah menit. Yeah she is not your regular southern pop/rock singer.
Untuk penggemar Adele, KT Tunstall, atau Sarah Blasko. The year 2011 had seen the reviving sounds of the nineties as well demonstrated by the likes of Big Troubles, Shine 2009, and Devon Williams. It was a good year for reminiscing a great decade. But we never get enough of them, do we? If so, then these girls hailing from Bandung couldn't pick any better time to publish their demo than the very early of 2012.
Read more here |
Daily Escapism Categories
All
LINKS
|