Jumat siang tanggal 4 Desember 2009, di bawah langit musim dingin yang kelabu, saya berada di tengah antrian panjang untuk check-in di Butlins, sebuah kompleks resort di pinggir pantai di Minehead – Inggris. Ribuan orang dari berbagai negara bergantian tiba, mulai dari kelompok mahasiswa sampai orang dewasa usia empat puluh tahunan lengkap beserta keluarganya, semua terlihat excited, karena itu adalah hari pertama dari rangkaian 3 hari All Tomorrow’s Parties weekend yang berjudul Nightmare Before Christmas (ATP NBC). All Tomorrow’s Parties (ATP) bisa saja mengingatkan kita pada sebuah judul lagu dari Velvet Underground, namun sejak sepuluh tahun terakhir ada hal lain yang diasosiasikan dengan kata-kata tersebut, yakni sebuah festival musik bergengsi nan beradab. Seperti menikmati versi festival dari mixtape yang dibuat oleh sebuah band, itulah konsep yang ditawarkan ATP; unik dan personal.
Kali ini band yang terpilih sebagai kurator adalah My Bloody Valentine (MBV). Atas pilihan mereka, ada 39 band dari berbagai genre yang menjadi line-up yang akan tampil di sebuah panggung utama dan dua panggung lainnya. Selain My Bloody Valentine, sejumlah band dari era 90-an cukup mendominasi panggung, di antaranya adalah Swervedriver, Primal Scream, Sonic Youth, Yo La Tengo, J.Mascis And The Fog, Spectrum, The Pastels, Television Personalities, Th’ Faith Healers, Bob Mould dan Robin Guthrie. Pilihan yang sangat pas mengingat MBV memang besar di era itu. Hip-hop yang diakui menjadi influens bagi MBV juga dipilh menjadi pengisi line up dari era ini, De La Soul dan EPMD menjadi penampilnya. Sedangkan dari era the noughties, MBV memilih band yang relatif muda dan kaya bebunyian seperti The Pains of Being Pure At Heart, The Horrors, mum, Lightning Bolt, Serena Maneesh, Fucked Up, A Place To Bury Strangers, No Age, Gemma Hayes dan School of Seven Bells. Dan MBV juga menunjukan kekagumannya atas musisi generasi old school yang diwakili oleh Sun Ra Arkestra, Buzzcocks dan The Membranes.
THE FULL LINE-UP:
|
Saking banyaknya band yang saya tonton di 3 hari itu, saya akan menuliskan beberapa saja sebagai highlights dari festival ini.
THE WOUNDED KNEES
Penampil pertama yang saya tonton adalah The Wounded Knees. Band yang dimotori oleh ex-personil Rollerskate Skinny, Jimi Shields (adik kandung Kevin Shields dari MBV) dan juga J.Mascis (Dinosaur Jr.) memulai pemanasan kuping semua orang yang hadir di Centre Stage. Perpaduan musik folk yang terdistorsi suara feedback dan drone efek gitar menjadi suguhan utama. Terlihat sesekali J.Mascis tampil ke tengah panggung untuk melakukan interaksi aural melalui gitarnya dengan flute yang dimainkan oleh Suzanne Thorpe. Sementara di belakang Mikey Pinaud yang agresif memainkan drumnya, tampak sebuah visual art berupa proyeksi still photos, merespon setiap bagian lagu yang dimainkan.
JOSH T.PEARSON
Selesai The Wounded Knees tampil, penonton tampak mulai bergerak ke luar, tapi sebagian besar tetap diam di dalam Centre Stage, karena di panggung sudah terlihat sesosok laki-laki kurus berambut gondrong dengan wajah yang juga dipenuhi rambut, sedang mempersiapkan alat-alat pelengkap gitarnya. Dia adalah Josh T. Pearson, front-man dari band Lift To Experience asal Texas. Anak pendeta yang terkenal dengan liriknya yang Biblical ini, memulai pertunjukannya dengan sapaan yang kental dengan aksen southern. Hanya ada satu gitar dan satu drum set yang digunakan pada set ini, tapi tidak membuat musik yang dihasilkan terdengar kosong. Bahkan sangat cukup mengisi ruang di antara vokal Josh yang terkadang meracau dan suara gitar yang berpindah-pindah dari suara akustik, pelan mengalun lalu tiba-tiba menghentak sangat keras lewat rekayasa reverb efek gitar, meninggalkan rasa yang luar biasa pada kuping penonton. Josh cukup komunikatif dengan penonton, dan sempat memberikan teaser dengan memainkan part awal dari “Come In Alone” milik MBV lalu bilang “You’ll get the real deal later...” dan disambut tepuk tangan penonton. Nice bloke.
DE LA SOUL
Sementara di panggung yang sama band drone/sludge Witch (yang juga dimotori oleh J.Mascis) akan segera tampil, saya memutuskan untuk keluar mencari atmosfir yang berbeda dan langsung menuju Main Stage. Panggung raksasa dengan kapasitas penonton yang paling besar dan dipenuhi dengan dekorasi ribuan lampu kecil pada backdrop-nya ini nampak mulai dipadati penonton. De La Soul, kelompok psychedelic hip-hop yang melejit lewat album 3 Feet High And Rising di era 90an ini akan memulai penampilannya. Ketika akhirnya suara lembut dari Rhodes organ membahana, riuh suara penonton menyambut irama funk, pop dan soul, dengan sampled beats khas De La Soul. Semua nampak sangat menikmati De La Soul yang tampil dengan hangat, melodius dan humorous. Antusiasme penonton membuat posse yang terdiri dari dua orang MC, satu orang DJ dan sejumlah pemain alat musik ini tampil semakin panas. Lagu demi lagu, termasuk hit single “Eye Know” benar-benar hampir membuat penonton berkeringat karena bergoyang.
PRIMAL SCREAM
Sebelum De La Soul mengakhiri set-nya, saya mampir ke sebuah restoran wara laba yang berjarak hanya beberapa meter dari Main Stage, untuk mengisi perut. Oh ya, semua panggung di area festival ini merupakan in-door stages, lengkap dikelilingi oleh mini market, restoran, bar, arena permainan, dan toilet yang bersih! Benar-benar festival yang memanjakan pengunjungnya. Setelah mengisi energi, muncullah dilemma. Antara kembali ke Centre Stage untuk melihat penampilan Yo La Tengo, atau tetap di Main Stage dan melihat Primal Scream beraksi. Akhirnya saya putuskan untuk melihat Primal Scream terlebih dulu. Bobby Gillespie memang sama sekali tidak terlihat berumur, aksi panggungnya cukup atraktif. Seatraktif lagu-lagu dari album XTRMNTR dan yang dinyanyikannya malam itu. Sempat ada insiden kecil ketika tiba-tiba ada botol air mineral melayang ke atas panggung, entah kenapa, untungnya itu tidak menyurutkan semangat penampilan Bobby yang tentunya sudah terbiasa menangani crowd sebesar itu. Tata lampu panggung Primal Scream menambah suasana di baris depan semakin panas, menyiramkan cahaya pada semua orang larut dalam hentakan bass yang dimainkan oleh Mani yang dulunya tergabung dalam The Stone Roses. Saya menunggu lagu-lagu favorit saya dari album Screamadelica berkumandang dari panggung, atau paling tidak cover version dari “Some Velvet Morning” akan memuaskan penasaran saya. Tapi saat itu tidak kunjung datang.
YO LA TENGO
Primal Scream belum tuntas bermain, tapi saya harus beranjak cepat ke Centre Stage. Sampai di sana, seperti diduga, barisan penonton dengan beer pints di tangan mereka sudah memenuhi sampai ke tengah area Centre Stage. Yo La Tengo sedang membawakan sebuah lagu dari album terakhir mereka Popular Songs, ketika saya akhirnya berhasil merangsek ke samping panggung. Berbeda dengan nuansa rock show di Main Stage sebelumnya, menonton Yo La Tengo seperti berada di area chill out. Penonton terpaku menatap panggung di mana Georgia, Ira dan James meresonansi bunyi-bunyiannya. Beat drums yang lembut, vokal yang terkadang terkesan hampir tanpa power dan suara moog yang lebar itu membentuk harmoni yang sangat nyaman di kuping. Beberapa lagu kemudian, keadaan berbalik. Yo La Tengo menutup set mereka dengan aksi yang cukup terlihat menyakitkan bagi instrumen musik mereka. Sang vokalis mencabik dan menghimpit gitarnya pada amplifier untuk menghasilkan feedback yang liar. Penonton semakin terpukau dan tepuk tangan apresiasi mereka mengantar Yo La Tengo ke balik panggung tanpa sesi encore.
MY BLOODY VALENTINE
Sebagai kurator, My Bloody Valentine dijadwalkan main setiap malam pada weekend itu. Di malam pertama, penampilan MBV rupanya menyedot penonton yang paling banyak. Saya segera masuk ke antrian yang sudah cukup panjang dan mengamati ekspresi muka orang-orang yang kaget melihat antrian sudah sepanjang itu. Dilihat dari penampilannya, penonton kelompok usia tigapuluhan ke atas sangat mendominasi malam itu. Kemungkinan besar mereka adalah fans MBV sejak tahun 80-an akhir yang terlihat sangat antusias dengan apa yang akan mereka alami lagi malam itu. Ketika melihat beberapa orang membagikan earplugs pada penonton, saya teringat untuk menyiapkan earplugs yang saya bawa sendiri. Penggunaan earplugs pada saat menonton pertunjukan MBV memang sangat dianjurkan untuk kenyamanan dan keamanan kuping, karena MBV terkenal selalu memainkan instrumen mereka pada volume yang sangat keras. Mereka pernah bermain di atas 120 desibel, sebuah volume yang setara dengan suara mesin jet. Karena alasan itu pula, MBV tidak dapat bermain di Main Stage yang lebih ‘terbuka’ dan berhadapan langsung dengan fasilitas umum lainnya seperti mini market, restoran dan bar. Setelah survey earplugs mana yang layak beli, saya membawa earplugs ACS ER20 yang direkomendasikan untuk menikmati penampilan MBV dengan detil suara yang tidak banyak hilang, namun aman. Safety first!
Tidak pernah terlintas dalam pikiran bahwa pengalaman menonton MBV akan menjadi bagian dari hidup saya, dan momen-momen menjelang mereka muncul di atas panggung saya lewati seperti bermimpi. Ketika akhirnya Bilinda Butcher, Kevin Shields, Debbie Googe dan Colm Ó Cíosóig muncul, rasa deg-degan itu memuncak, lebur dengan sambutan penonton yang menggila. This is it! My most beloved aural benders are right in front of me!!! Lagu pertama, "I Only Said" kontan membuat mata saya berkaca-kaca. Paduan antara bunyi gitar, bass, beat drums, tata cahaya, visual art di belakang panggung dan lautan penonton yang sedang hopping menghasilkan gelombang-gelombang dalam frekwensi suara, dan frekwensi visual yang sinkron. Beberapa orang melakukan stage-diving, beberapa lainnya menari menikmati harmoni, ada yang menangis, dan semuanya tersenyum. Lagu-lagu dari album Isn't Anything, Loveless, dan beberapa single di antara dua album tadi, dibawakan malam itu. "To Here Knows When" membuat penonton terpana, vokal Bilinda Butcher membius semua keinginan untuk bergerak. Sebaliknya, "Soon" seperti menyebar substansi tertentu pada nadi penonton karena mereka serentak berdansa, bergerak dari ujung kaki hingga kepala. Ecstatic! Saya tidak menyangka akan ada momen sing-along pada penampilan MBV, karena vokal mereka jauh terkubur oleh bebunyian instrumen lainnya, tapi saya salah. "Cigarette In Your Bed" menjadi momen itu. Satu lagu yang belum pernah dibawakan di atas panggung semenjak reuni mereka di tahun 2008 adalah "Sometimes", dan pada lagu ini Colm maju memainkan sebuah gitar akustik, Bilinda pindah ke belakang keyboard dan Kevin menyanyikan lagu yang mungkin paling banyak di-kover dari MBV itu. Sekitar 15 Lagu dimainkan pada malam itu, dan seperti biasa "You Made Me Realise" menjadi lagu pamungkas. Saya menunggu lagu ini karena seperti menjadi sebuah tradisi, setiap lagu ini dibawakan akan selalu ada extended part dari lagu ini yang hanya menampilkan bunyi-bunyian semua instrumen dalam volume yang progresif, pure white noise. Mereka menyebutnya sebagai "hollocaust", Sepanjang track record-nya, MBV memainkan part ini dalam durasi yang bermacam-macam, rata-rata sekitar 20 menit. Inilah puncak penampilan mereka, dimana saya bisa merasakan getaran dari panggung begitu jelas di badan saya. Terutama di bagian dimana kord berpindah dan menghasilkan suara seperti pesawat jet yang lepas landas. Beberapa orang menutup kuping karena intensitas suara yang terus meningkat, beberapa lainnya hanya memejamkan mata dan menikmati sonic flood, wall of sounds dan apapun sebutannya itu, membanjiri ruang dan waktu.
Malam itu saya tidur tersenyum, terutama ketika mengingat saya akan mengalami lagi pengalaman ini di malam-malam berikutnya.
Malam itu saya tidur tersenyum, terutama ketika mengingat saya akan mengalami lagi pengalaman ini di malam-malam berikutnya.
ROBIN GUTHRIE
Selain My Bloody Valentine, Cocteau Twins adalah bagian dari top 10 band favorit saya. Sementara menunggu mereka reuni adalah sebuah wishful thinking, maka menonton penampilan solo Robin Guthrie adalah bonus besar dari festival ini. Satu jam menunggu di depan pintu masuk berbuah sebuah spot di barisan paling depan dari set Robin Guthrie malam itu. Tampil hanya dengan beberapa gitar yang dijejerkan dibelakang, sebuah laptop dan beberapa set pedal tidak mengurangi daya sihir Robin. Sebelum main dia sempat bicara ke penonton "Why do you all stand up? You should all just lay down". Setelah dua lagu, saya mengerti apa yang dia maksud. Suara gitar Robin yang penuh efek, dikombinasikan dengan tampilan visual yang diproyeksikan di panggung, memberikan semacam ruang dalam musiknya. Dimensi suara yang lebar dan panjang meresonansi, membawa alam sadar penonton sedikit terdistraksi. Saya mengalami sedikit perjuangan untuk tetap berdiri, melawan buaian alunan gitar yang masyuk.
GEMMA HAYES
Penampilan Gemma Hayes tidak selalu dalam format full-band, tidak juga pada hari itu. Tampil dengan format trio, Gemma Hayes membuka hari ke-3 dengan sempurna. Selain lagu-lagu dari album ketiga The Hollow of Morning, Gemma juga membawakan beberapa lagu dari Oliver EP yang baru dirilis saat itu. Kejutan siang itu adalah sebuah lagu cover dari Kate Bush; "Cloudbusting". Gemma yang selalu terasa emosinya dalam lagu-lagunya tampil cukup komunikatif dengan penonton. Jokes yang kontekstual dengan keadaan siang itu juga sempat dilemparkan oleh singer-songwriter berparas indah itu. Irish girls, what can we say? Gemma is a beautiful voice with a beautiful face.
MUM
Salah satu atraksi yang sangat playful di atas panggung utama, adalah penampilan Mum asal Islandia. Entah berapa banyak instrumen yang meraka bawa ke panggung, yang pasti, di setiap lagu tidak terdengar bebunyian yang sama. Didominasi oleh lagu-lagu dari album Sing Along To The Songs You Don't Know, setlist malam itu akan membuat kuping-kuping yang baru pertama kali mendengarkan Mum, jatuh cinta. Permainan vokal dari dua penyanyi perempuan, direspon oleh suara alat musik di sana-sini membentuk melodi yang harmonis. Buat saya, "Green Grass of Tunnel" tetap menjadi lagu yang paling ditunggu.
SERENA MANEESH
Ketika saya masuk ke ruangan yang sudah cukup padat dengan penonton, Serena Maneesh sudah memulai set mereka. Tampilan mereka yang bagaikan glam-rockers itu membuat panggung menjadi semakin menarik. Musik yang bising sekaligus indah, agresif sekaligus membuat terlena adalah hiburan yang diramu oleh anak-anak Norwegia ini. "Drain Cosmetics", "Un-Deux", "Sapphire Eyes High", dan beberapa lagu dari album kedua yang saat itu belum dirilis, dimainkan dengan memukau. Sama sekali tidak membosankan.
Tidak hanya musik, pengunjung juga disuguhi hiburan alternatif lainnya. Di luar area panggung berbagai keriaan tidak pernah berhenti. Mulai dari kamar masing-masing pengunjung, sejumlah tayangan televisi pilihan MBV siap dinikmati. Kemudian bioskop mini di sekitar area festival yang memutar sejumlah film layar lebar klasik seperti Godzilla, King Kong, La Haine, Flamenco, Wuthering Heights, dll. semuanya juga atas pilihan MBV. Selain itu, masih ada galeri yang menggelar eksebisi seni karya Tim Biskup yang mendesain logo dan artwork ATP NBC 2009, shooting sesi interview Soft Focus (sebuah acara internet TV), Pop quiz dan Bingo berhadiah cds dan merchandise ATP, serta live DJs pilihan MBV.
Ketika festival berakhir setelah hari ketiga, rasanya tidak ingin berpisah dengan venue, crowd, dan semua band yang ada. Hari Senin pagi, kami pulang menuju London dalam keadaan lelah tapi puas. Not in a sexual sense, of course. Di sepanjang perjalanan saya tidak berhenti melihat foto-foto hasil jepretan dan selalu tersenyum karena berhasil bertemu, sedikit berbincang dan tentu saja berfoto bersama Kevin Shields.
Begitu banyak yang ingin diceritakan. Bottom line is, it was one of the best concert moments in my life.
If that was a nightmare, I wonder how good a sweet dream would be?
Foto-foto dari festival ini dapat dilihat di sini
Ketika festival berakhir setelah hari ketiga, rasanya tidak ingin berpisah dengan venue, crowd, dan semua band yang ada. Hari Senin pagi, kami pulang menuju London dalam keadaan lelah tapi puas. Not in a sexual sense, of course. Di sepanjang perjalanan saya tidak berhenti melihat foto-foto hasil jepretan dan selalu tersenyum karena berhasil bertemu, sedikit berbincang dan tentu saja berfoto bersama Kevin Shields.
Begitu banyak yang ingin diceritakan. Bottom line is, it was one of the best concert moments in my life.
If that was a nightmare, I wonder how good a sweet dream would be?
Foto-foto dari festival ini dapat dilihat di sini